cerpen Seperti Sebutir Biji


Seorang laki-laki paruh baya dengan janggut tebalnya mengakhiri perkuliahannya tepat di jam 13.20, kemudian meninggalkan ruangan diiringi dengan keriuhan oleh para mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa dari mereka segera berhambur keluar ruangan, namun tak sedikit yang masih stay on. Salah satunya gadis berwajah khas arab, bermata jeli dan berkerudung merah jambu serempak keluar kelas bersama ketiga sahabatnya. Gadis pemilik nama Robiah itupun pamit pada ketiga sahabatnya, tepat saat mereka tiba di lobi fakultas. Jadwal kuliah memang telah usai namun biasanya ia dan ketiga sahabatnya akan bertandang ke masjid dekat kampus, untuk melaksanakan sholat dan ngobrol. Namun kali ini Robiah tak bisa ikut serta dalam kebiasaan mereka di hari selasa ba’da dzuhur itu, Bukan karena saat itu ia sedang haid, tapi ada hal yang harus ia kerjakan saat ini, di rumah. Jadilah mereka berpisah. Tampak ketiga sahabatnya beranjak menuju masjid. sedang robiah beranjak menuju parkiran.
Belum sempat sampai di tempat parkiran ia bertemu salah satu teman pondoknya dulu. Zahira. Perempuan berwajah oriental dengan lesung pipit di pipi kanan dan kirinya. Mereka memang satu kampus namun amat jarang bertemu, maka kala mereka berpas-pasan seperti ini tak bisa dipungkiri lagi jika perbincangan mengalir hangat.
 “Ana kangen rumah, Bi.” Celoteh Zahira tiba-tiba, ditengah pembicaraan mereka.
Robiah amat tahu anak kos seperti Zahira pasti jarang pulang, apalagi rumahnya yang jauh di Bogor. Otomatis zahira rindu rumahnya. Ia pun amat melihat kerinduan Zahira dari balik matanya yang mungil.
“Yaudah kamu pulang say, besok nggak ada mata kuliah lagi kan?” Seru Robiah bersemangat. Zahira hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Jadi mau pulang kapan?”
“Emmm sekarang bi, tapi…”
 “Tapi Kenapa Za?” Tanya Robiah mengeruatkan alis melihat mimik Zahira yang tampak bingung.
“Nggak kenapa-kenapa, yaudah kamu mau pulang ya? Hati-hati yaa.”
“Eittt, tunggu, Zaa… kamu belum jawab pertanyaanku. Pasti ada sesuatu deh, udah cerita aja kenapa, kamu kebiasaan ada masalah disembunyiin.” Zahira hanya tersenyum tipis mendengar celotehan robiah.
“Emmm Aku mau pulang tapi nggak ada bensin. Hehehe. Emmm aku boleh minjem uang nggak sama kamu? Lima belas ribu aja deh, buat isi bensin, soalnya aku cuma punya lima ribu. Tapii, kalo kamu nggak ada, nggak usah kok bi.”
“Ya Allah jadi, gitu, kamu bilang aja say. Aku ada kok. Bentar yah.” Robiah segera mengambil uang dari dompetnya.
“Inii say, semoga cukup yah.” Ujar Robiah memberikan selembar uang berwarna biru dongker pada Zahira.
“Yaa Ampun bii, ini kebanyakan, aku minjem lima belas ribu aja kok.”
“Nggak apa-apa say, ini buat pegangan di jalan say, kamu kan perjalanan jauh, nanti kalo ada apa-apa gimana? Kalo cuma mengang lima belas ribu.”
“Nggak say, aku cuma mau pinjem lima belas ribu, aku tukerin yaa uangnya.” Seru Zahira melangkah pergi namun robiah terlebih dahulu menjegatnya.
“Nggak usah Za, pegang aja, oke.” Zahira segera memeluk Robiah.
“Makasih banyak bi, aku pinjem dulu yaa uangnya. Nanti aku akan ganti secepatnya.”
“Iya say, udah santai aja. Terserah kamu. mau dibalikin apa nggaknya, yang pasti ini buat kamu. jangan dipikirin yaa.” Ujar Robiah lagi, Zahira kembali memeluk Robiah.
“Yaudah sekarang, meding kamu siap-siap pulang, nanti kemaleman lagi.” Ujar Robiah melepas pelukan Zahira lalu mengikis air mata Zahira yang runtuh.
“Iya, sekali lagi, makasih banyak yaa say.”Robiah hanya menganggu senyum.
Sepeninggal Zahira, Robiah mengembangkan senyum. Ia sama sekali tak menyesal telah memberikan uang satu-satunya yang ada di dompetnya untuk temannya itu, ia merasa amat lega telah meringankan beban Zahira, sahabatnya. Ia tahu ia butuh untuk membeli sesuatu, namun yang lebih ia tahu adalah sahabatnya lebih membutuhkannya. Apa jadinya kalau Zahira hanya membawa uang lima belas ribu saja dengan perjalanan sedemikian jauhnya. Ia berharap semoga bermanfaat dan ia berharap Zahira sampai rumah dengan selamat dan tidak terjadi apa-apa. Ia pun bersyukur, bensin yang ia miliki pada motornya masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang.
***
Hitamnya langit tampak indah dihiasi oleh ribuan bintang, mengiringi keriuhan di sebuah majlis dibelahan kota Jakarta selatan, yang bernamakan majlis Al-Istiqomah, sorak-sorak anak-anak di pojok-pojok ruangan semakin menggema. Salah satunya kebisingan pada lingkaran anak-anak di pojok kanan majlis menyebutkan nama-nama malaikat yang dibimbing oleh Robiah. Mengajar mengaji memang rutinitasnya setiap habis magrib.
“Ayoo coba diulang lagi.” Seru Robiah  mengadahkan tangannya, menyuruh para muridnya untuk mengulang hafalan mereka.
“Jibril, Mikail, isrofil, izroil, munkar, nakir, rokib, atid, malik, ridwaaaannn.” Teriak kedua belas anak-anak yang mayoritas kelas  5 dan 6 sd itu.
“Alhamdulillah, semuanya hafal dengan baik, udah waktunya untuk pulang ayo adek-adek baca doa kafaratul majlis.”
Dengan lantang dan penuh semangat, para muridnya membaca doa bersamaan. Usai berdoa satu persatu mereka pamit pulang dan menyalami Robiah. Setelah semua muridnya pergi, iapun segera beranjak menuju rumahnya yang bersebelahan dengan majlis milik babehnya itu. Tiba dikamar mungilnya ia melihat handphonenya berbunyi, satu sms mendarat dari sahabatnya Zahira, yang mengabarkan bahwa ia baru saja sampai rumah dengan selamat. Bibir Robiahpun mengembangkan senyum dan mengucap hamdalah. Dalam angannya ia teringat perbincangannya dengan Zahira sore tadi saat Zahira menelponnya.
“Assalamualaikum, Robiah. Biii… makasih banyak ya, atas pinjaman kamu tadi, coba aku bawa pas-pas uangnya, mungkin aku nggak bisa benerin ban motor aku yang bocor. Mana perjalanan masih jauh. Makasih banyak yaa bi.”
“Alhamdulillah kalo gitu, hati-hati yaa, nanti kalau sudah sampai rumah kabari.”
Mengingat percakapan tadi sore Robiah semakin bersyukur. Dimana uang yang ia berikan sangat bermanfaat untuk sahabatnya.
Tok, tok, tok. Suara ketukan membuyarkan lamunannya. Robiah segera beranjak dari kamarnya. Lalu membuka pintu ruang tamu. Tampak seorang wanita paruh baya tersenyum dan mengucapkan salam. Robiah segera menyalaminya. Lalu mempersilahkan wanita itu masuk.
“Ada apa bu?” Tanya Robiah membuka pembicaraan diantara mereka.
“Ini Kak Robiah, Ibu mau bilang makasih banyak, Kak Robiah udah ngajarin Adel. Sekarang dia pinter baca iqronya dan seneng banget kalo berangkat ngaji.”
“Alhamdulillah kalo gitu, Kakak juga seneng banget, Adel mah mang cepet pahamnya.”
“Oya ibu nggak bisa lama-lama, ini buat Ka Robiah.” Ibu itu memberikan sebuah amplop pada Robiah saat mereka bersalaman, sontak robiah kaget.
“Lho bu, Adel kan baru beberapa hari ngajinya.”
“Nggak apa-apa Ka robiah, anggap ini rasa syukur ibu ya. Yaudah ibu pamit ya, Ka.”
“Iya terima kasih banyak ya bu.”
Sepeninggal Ibu dari anak muridnya itu, mata robiah nan jeli berkaca-kaca. Melihat amplop yang ia ngenggam, Alhamdulillahi robbil a’lamin. Bertambah rasa syukurnya tatkala melihat isi dari amplop putih itu yang berisi dua lembar uang seratus ribuan. Bibirnya tak henti mengucap hamdalah. Air matanya tak henti runtuh. Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan? Besitnya.
***
Pagi dengan sejuta syukur yang terpanjat, Robiah memberi tahu mengenai kenikmatan Allah yang ia dapatkan tadi malam pada Ummi dan Babehnya. Keduanya tampak bahagia.
“Maka dari itu Ka, jangan berputus dari yang namanya sedekah. Dan harus ikhlas jugaa. Kalo nggak ikhlas sama aja dong.” Celoteh babeh.
“Iya beh, oya beh, itu tadi kakak liat diruang tamu ada laptop, dua sound, layar proyektor, LCD ama printer. Itu babeh beli beh? Bukanye babeh udah punya laptop?” Babeh hanya cekikan mendengar serentetan pertanyaan anak perawannya.
”Alhamdulillah itu juga keajaiban sedekah dari Allah, Ka.”
Babehpun menceritakan dari mana datangnya barang-barang yang disebutkan oleh Robiah. Berawal dari kejadian kemarin sore. Saat itu babeh kedatangan seorang teman dengan membawa beberapa kardus yakult.
“Pak, saya sedang butuh uang, saya dapet bantuan dari teman untuk menjual yakult-yakult ini, apa bapak mau membelinya?”
Berhubung saat itu yang ada di kantong sang babeh hanya uang seratus lima puluh, maka babeh segera memberikan uang itu.
“Ini Pak, dikantong saya ada uang segini, semoga cukup.”
“Wah Pak, yakultnya belum ada kalo segini uangnya. Saya cuma bawa beberapa aja. Gimana pak?”
“Udah ngga apa-apa, ini buat bapak, dan yakult-yakult ini bapak bawa lagi dah yak.”
“Alhamdulillah ini bener pak?”
“Iyaa bener.”
“Alhamdulillah, makasih pak, semoga majlis yang bapak dirikan ini semakin berkah, bermanfaat dan maju.” Babeh hanya tersenyum dan mengamini.
Dan tak disangka malamnya, seorang datang dengan membawa barang-barang berupa laptop, dua sound, printer, layar proyektor dan LCDnya, tepatnya saat itu Robiah sudah terlelap dalam buaian mimpi. Barang-barang ini untuk digunakan dan dimanfaatkan babeh di majlis. Pesan seorang yang memberikan barang-barang itu. Uang yang dikeluarkan babeh pada sore kemarin, diganti berlipat ganda dengan barang-barang yang harganya jutaan.
Subhanallah, Kembali air mata Robiah basah oleh haru atas cerita yang disampaikan babeh padanya. Ia tahu ini adalah rizqi yang disampaikan Allah melalui hamba-hambanya. Ia tahu Allah tak pernah tidur. Bahkan ia tahu janji Allah selalu ada, dan selalu melekat dalam nadi. Bahwa Allah selalu menggati segala yang kita beri dengan berlipatganda. Apalagi ia tahu janji Allah sudah tercantum pada kitab suci Al-Qur;an, salah satunya pada ayat  surat Al-baqoroh yang berbunyi “perumpamaan orang yang mrnginfakkan hartanya dijalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang yang dia kehendaki, dan Allah maha luas, maha mengetahui.”
Dan kini dalam benaknya tak pernah ada keraguan lagi tentang nikmat-nikmat Allah yang tiada tara. Kembali ia menyelami kenikmatan Allah dengan bersholawat. Rasanya ia tak jemu untuk menyisihkan lagi dan lagi hartanya untuk orang yang membutuhkan. Karena sesungguhnya sebagian di hartanya itu ada haq orang lain.

Pitc by Google


Komentar

Posting Komentar