Hasna masih
terdiam menyimak serentetan pertanyaan dari pembawa acara. Wajahnya menampakkan
ketenangan. Terlihat pula dari senyuman yang kerap kali ia sunggingkan tak ada kekhawatiran. Segala jawaban yang telah
diutarakannya pun terdengar bijak tanpa ada kegugupan, begitu mantap ia
mengatakannya tanpa rasa ragu. Tak seperti suasana hatinya yang begitu rindu,
rindu akan sosok yang berada jauh disana. Hingga pada sebuah kesempatan sang
pembawa acara tiba-tiba menghubungi seseorang.
“ Halo, Assalamualaikum pak!” Seru sang
pembawa acara mencari suara yang tengah dihubunginya.
“Ya, waalaikum
salam warohmatullahi wabarokatuh.” Suaranya sangat ia kenal. Ia segera
memanggilnya.
“Abi bagaimana
keadaan abi disana?” tanyanya lembut melontarkan kerinduannya, namun tetap dalam
keadaan tenang.
“Alhamdulillah
hingga hari ini Abi masih diberikan kesehatan oleh Allah, Ummi.” Jawab suara
dari seberang, pembicaraanpun mengalir seketika. Suasana menjadi mengharukan.
Namun ia tetap tenang, isak tangisnya ia tahan. Setetespun tak ia lelehkan
airmatanya. Ia tak ingin menguraikan
kerinduannya dengan tangisan. Ia masih mengingat pesan dari orang terkasihnya
itu.
Seorang yang
tengah berjuang dibelahan dunia sana mengajarinya untuk tetap sabar dan tegar.
Maka hingga hari ini pun ia masih berusaha untuk tenang tanpa rasa khawatir. Ia
yakin Allah yang akan senantiasa menjaga dan melindungi belahan jiwanya itu.
bahkan melebihi keyakinannya. Iapun rela atas apapun yang mungkin terjadi
nanti. Ia sudah mantapkan untuk sepenuhnya mendukung jihad dari teman hidupnya
itu. seperti yang telah ia utarakan pada pembawa acara dan pemirsa yang
menonton siaran langsung wawancara terhadapnya ditengah ia mendengar suara yang
sangat ia rindukan itu.
Seorang
arsitek muda yang sedang mengemban tugas yang tentunya sangat berbahaya bagi
dirinya. Namun dengan tekad yang kuat ia bulatkan niatnya dalam misi
pembangunan RS Indonesia di daerah pelosok kota Gaza. Sekaligus untuk missi
membantu ummat muslim dijazirah Palestina. Tanpa rasa takut ia arungi segala ancaman
bahaya yang kerap mengintai setiap detiknya. Bahkan detik itupun bisa saja
nyawanya akan melayang. Namun rasa jihad yang kian membara, menembus ruang
hatinya.
Kini ia tak
mementingkan nyawanya, jiwa kemanusiaanyalah kini yang mengembara dalam
hatinya. Sempat nyawanya hampir terenggut, dimana pada saat itu ia hendak
berwudhu untuk melaksanakan sholat dzuhur. Perlahan ia angkat tangannya untuk
mengambil air, namun tiba-tiba seorang menarik lengannya. Ia pun berlari
bersama kaki kecil itu, orang-orang disekitarnya pun berlari. Seketika suatu
melayang kearah tempat mereka berpijak begitu kilat, dengan sekuat tenaga
mereka mencoba menghindar. Dan benda itu mendarat seketika, kakinya pun
terhenti, tangannya menelungkup, sekian detik tubuhnya terjerembab. Begitu
terdengar suara yang menggeleggar bagai petir yang mengamuk, percikan api menyatu
bersama asap layaknya pertujunkan kembang api yang sangat dahsyat. Serpihan
bangunan telah diluluh lantahkan oleh benda itu. Takbir kian bergema. Allahhu Akbar!
Allahhu Akbar! Allahu Akbar!
Dengan seruan
takbir yang kian lantang. Sebagian dari para pemuda Palestine melontarkan
batu-batu kerikil menyerbu tank-tank yang menerobos, melindasi puing-puing
kehacuran. Semakin liar para pemuda muslim Palestine menyulut kobaran amuk jihad
mereka. Dan hasan terlihat tak berdaya. Sandi-sandi tulang rusuknya begitu
terasa nyeri. Beberapa tetes darah merembes dari balik kulit kakinya yang
bersih. Wajahnya menyimpan rasa sakit. Sekuat tenaga ia coba untuk bangkit, namun
sia-sia, sebagian tubuhnya terbenam bersama serpihan bangunan yang telah hancur,
seorang bocah Palestina masih didekapnya begitu erat. Atas izin Allah ia pun
segera terselamatkan. Namun mata seorang anak Palestine terlihat sembab oleh
tangis menggenggam erat lengannya. Bocah itu yang tadi lari bersamanya setia
mengiringinya hingga tubuhnya terbaring disebuah mobil ambulans.
Hasna, sebagai istri terlihat sangat bangga
dan kagum mendengar cerita singkat dari suaminya itu. ia pun tak kaget atas
pernyataan yang dilontarkan oleh suaminya atas pertanyaan dari sang pembawa
acara.
“Saya tak
pernah takut apabila suatu saat Allah memanggil saya. Yang terpenting saya
telah mengemban tugas mulia ini dan saya hanya berharap istri saya dan
anak-anak beserta keluarga ikhlas.”
“ummi ikhlas
bi. Abi jangan takut, anak-anak selalu menyayangi dan merindukan abi disini.
Kami sayang abi.” Timpal hasna mengakhiri pembicaraanya dengan sang suami
tercinta. Wawancara pada malam itupun berakhir.
***
Hasna masih
sangat mengingat akan perpisahannya dengan suaminya, sejak dua minggu yang
lalu. Saat itu, di malam yang sunyi, hanya terdengar rintikan hujan yang
mengguyur kota. Ia duduk bersama suaminya di kursi rotan di beranda rumahnya.
Ia membisu, hatinya gelisah. Sedang suaminya begitu menikmati suasana itu
dengan kopi hangat buatannya. Seketika mata suaminya tertuju padanya, ia hanya
menunduk, mulutnya seperti kaku untuk berbicara. Matanya mulai berembun, Suaminya
menatapnya lekat-lekat. Dengan menarik nafas dalam-dalam Hasna melirik
suaminya, matanya bertemu. Seucap kata ia lontarkan dengan penuh kepastian. membuat
senyuman dari balik bibir sang kekasih, ia pun tersenyum. Seketika Hasan
memeluknya erat.
Kini Hasna
benar-benar melepaskan sang suami untuk berjihad. Walau ia memang telah
mendukung dan merelakan kepergian suaminya, namun entah mengapa air mata itu
meleleh pula demi menyaksikan kepergian suaminya di bandara hingga pesawat meluncur.
Segera ia seka air matanya. Ini adalah bagian dari resiko yang ia dan suaminya
ambil.
Kekhawatiran pun
mulai hadir semenjak sang suami tak sedikitpun memberi kabar beberapa hari setelah
keberangkatannya, beriringan dengan berita mengenai genjatan dari tentara
Israel yang kian menjadi-jadi. Dan kondisi kota Gaza yang semakin mencekam dan
pilu, Ia pun terbayang akan sosok suaminya. Terlintas lah rasa takut akan
kehilangan. Entah mengapa kecemasan demi kecemasan kian melanda dirinya. Rasa khawatir
mulai menggelayuti hatinya, ditambah lagi dengan berbagai firasat buruk tentang
sang suami. Tapi ia tetap sabar dan mencoba untuk tenang, ia yakin suaminya
baik-baik saja. Bukankah keberangkatan sang suami berasal dari restunya.
Akankah kini
suaminya yang tak memberikan kabar telah syahid bersama para syuhada lainnya?. Namun jika memang suaminya telah tiada mengapa tidak ada kabarnya?.
Wallahualam bishoaf. Pikirnya.
Hingga pada suatu hari rasa penasarannya pun meledak. Segera ia bergegas
hilir mudik mencari segala informasi mengenai kondisi kota Gaza terkini. Mulai
dari media massa hingga media cetak, bahkan kepada kerabat-kerabatnya, namun
hasilnya nihil. Ia tak sama sekali mendapatkan informasinya. Hatinya semakin
kalut. Ia memang mengikhlaskan sang suami namun nyatanya itu sangat berat
baginya. Rasa khawatir itu susah sekali untuk ditepis. Kerinduannya pun kian
menjalar dan berkabut.
Bersama waktu yang kian bergulir ia tak pernah meninggalkan doa dalam
sholatnya untuk keselamatan sang suami beserta para mujahid disana. Hingga pada
akhirnya ia menemukan jalan untuk bisa menepis segala rasa penasarannya. Dari
salah seorang teman jama’ah majlis taklim yang ia ikuti, ia medapatkan sebuah alamat.
Alamat seorang wartawan dari salah satu saluran tivi swasta yang akan berangkat
ke kota Gaza untuk meliput kondisi mengenaskan disana. Tentunya hasna sangat
membutuhkan bantuan wartawan itu, untuk bisa mendapatkan kabar secara langsung mengenai
keadaan suaminya yang sudah seminggu lebih tidak diketahui keberadaannya.
***
Dengan menggadeng kedua anaknya ia berangkat menuju kota Jakarta, tempat
dimana wartawan itu tinggal. Empat jam perjalanan dari bandung menuju Jakarta
dengan sebuah bis cukup melelahkan. Ditambah berbagai rewelan dari anak-anaknya
yang masih belia. Akhirnya dengan rasa lelah dan keringat yang mengguyur
disetiap langkah kaki, ia temukan rumah itu. Begitu terlihat sepi. Tak disangka
Sayyid, wartawan muda itu telah berangkat menuju bandara sejak tadi pagi, tepatnya
dua jam lagi pesawat yang ditumpangi oleh sayyid akan meluncur. Kaget bukan
kepalang, badanya pun mulai lemas. Wajahnya merah tergores sinar mentari. Nafasnya
tersenggal. Namun ia bangkit, Ia tak mau perjuanganya pupus. Dengan menggendong
anak bungsunya yang masih berumur empat tahun dan menggandeng putrinya, ia
arungi terik mentari yang menyengat. Tak butuh 2 jam untuk sampai di bandara
dengan sebuah taksi. Seorang tetangga dari wartawan tersebut membantunya mencari.
Semoga saja wartawan itu belum berangkat, Harapnya. Tinggal dua puluh
lima menit lagi keberangkatan pesawat dan Hasna belum menemukan sosok Sayyid. Yang
ia temukan hanya para rombongan pengantar wartawan tersebut, sedang Sayyid
telah berada dipesawat yang sebentar lagi akan terbang. Harapannyapun mulai
sirna. Keluarga dari sang wartwanpun simpati padanya dan berusaha tuk
membantunnya.
Tanpa diduga tiba-tiba Sayyid hadir dihadapan mereka. Inilah pertolongan
Allah. Dengan segera Hasna memberikan sebuah amplop padanya. Ia mengutarakan
maksudnya dalam amplop itu, karena Sayyid harus buru-buru kembali ke pesawat.
Ia hanya mengatakan “tolong saya, kamu baca surat ini. semoga kebaikanmu
dibalas Allah.” dan Sayyidpun berlalu. Ternyata sekembalinya sayyid karena ada
suatu barang yang tertinggal, sebuah handycam yang tengah digenggam Ibunya.
Allah memberikan pertolongan dengan cara yang tak diduga.
Para keluarga dan kerabat yang mengantar dua orang wartawan yang pergi ke
kota Gaza itupun terharu atas perjuangan Hasna. Hingga dua hari kemudian ia
mendapatkan undangan wawancara dari salah satu acara siaran berita di saluran
tivi dimana Sayyid bekerja. Dan dalam wawancara itulah pertama kalinya ia
mendengar suara suaminya. Sebelumnya pun ia telah mendapatkan kabar tentang
keadaan suaminya melalui e-mail oleh Sayyid.
***
Pagi ini ia harus pulang, setelah menginap selama tiga hari di Jakarta, tepatnya
di rumah keluarga Sayyid. Orang yang telah membantunya. Setelah pamitan ia dan
kedua anaknya pun mohon diri.
“mba’ hasna, nggak usah sungkan-sungkan ya main kesini. Hati-hati ya” pesan
ibunda dari sayyid. Dengan kedua buah hatinya ia kembali kerumahnya.
Tak terasa rintikan airmatanya jatuh demi mengingat percakapannya tadi
malam dengan sang suami. Ia segera menghapusnya, lalu tersenyum. Ia ingat akan
janji Allah dan kegigihan beserta cinta dari suaminya. kembali ia memandangi
wajah mungil anak-anaknya yang sedang terlelap dipangkuannya. Farha dan farid.
“sayang, anak-anak ummi dan abi yang
sangat kami cintai karena Allah. Kita sama-sama berjuang ya sayang menghadapi
setiap detik yang Allah berikan pada kita. Seperti saudara-saudara kita dan
juga abi yang sedang berjuang menghadapi cengkaman dari musuh-musuh kita. Ummi
akan selalu menjaga dan membimbing kalian. Anak-anak ummi yang sholeh dan
sholehah.” Ujar bathinnya mengelus lembut pipi kedua anaknya itu.
Ia sangat sadar perjuangannya tak sebanding dengan perjuang para bunda
diluar sana, bahkan perjuangan para Bunda ditanah Palestine, mereka
mengorbankan nyawa mereka demi keselamatan keluarga dan anak-anak mereka.
Semangat mereka membuatnya semakin bersukur dan tegar.
***
Kakinya
melangkah tergesa-gesa bersama kaki-kaki mungil anak-anaknya. Kerudung
panjangnya kian berkibar. Senyumnya kian merekah. Sudah dua bulan berlalu.
Berita mengenai genjatan dahsyat di Gaza pun mulai mereda walau rasa khawatir
akan serbuan yang mungkin akan kembali masih ada. Yang pasti akhir-akhir ini
berbagai siaran meyiarkan kota Gaza mulai aman. Hasna pun bernafas lega.
Dan di hari
ini, ia akan mengukir sejarah hidupnya. Dimana hari yang ia tunggu-tunggu telah
tiba. Seketika langkahnya terhenti, diantara kerumunan orang-orang ia mencoba
menelusup bersama dua buah hatinya. Mencari sosok seorang yang telah lama ia
rindukan. Tetes airmata bergulir dari balik matanya. Ia benar-benar tak kuasa menahan
kerinduannya lewat tangis demi melihat sosok itu kini didepan matanya. Nafasnya
seperti terhenti, matanya terbelalak melihat sosok itu menghampirinya sedikit
tertatih-tatih dengan dua tongkat ditangan kanan dan kirinya. Segera ia peluk
orang yang sangat ia rindukan itu.
“Abiii….”
Teriak riang kedua anaknya menuai kerinduan, ikut berhambur memeluk tangan abinya itu.
Hasan segera
menyeka airmata istrinya itu. lalu memeluk erat ketiga orang yang sangat ia
cintai. Walau dengan kaki kanan yang menggatung, ia masih tetap tersenyum
lebar. perjuangannya ditanah Gaza memang telah melenyapkan satu dari bagian
tubuhnya, namun itu membuatnya bahagia karena telah melakukan suatu hal yang
tak ternilai yakni manisnya perjuangan dan kepedulian.
Tunggu saatnya hai yahudi, tentara Allah kan
kembaliKobarkan perang suci, bebaskan seluruh negeri
Jiwa-jiwa pemberani maju meski harus mati
Ingatlah wahai diri, syurga Allah tlah menanti
Tinggalkan semua mimpi, berjihad teguhkan hati
Khaibar khaibar ya yahud jaisyu Muhammad saufa ya’ud
Bermanfaat sekali tulisannya.. sangat membantu.. terima kasih
BalasHapuscara menjadi dosen
dosen yang menginspirasi
jual sepatu safety surabaya
tempat pembuatan website di medan
Alhamdulillah, Terima kasih, semoga bermanfaat :)
Hapus